Industri pariwisata terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi, dan salah satu entitas yang turut memainkan peran penting dalam ekosistem ini adalah Biro Pariwisata Online atau yang lebih dikenal sebagai Online Travel Agent (OTA). Dalam konteks ini, penting untuk memahami perlakuan pajak yang dikenakan pada bisnis semacam itu.
Artikel ini akan membahas secara mendalam ketentuan, dasar hukum, dan tarif pajak yang berlaku bagi biro pariwisata online, dengan fokus pada aspek-aspek kunci yang melibatkan pendirian bisnis, registrasi, dan kewajiban perpajakan.
Pendirian dan Registrasi Bisnis
Pertama-tama, untuk dapat beroperasi secara legal, seorang Online Travel Agent (OTA) harus berbentuk badan hukum. Bentuk badan hukum yang umum dipilih adalah Perseroan Terbatas (PT). Proses mendapatkan status hukum ini melibatkan pendaftaran usaha pariwisata dan mendapatkan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) sesuai dengan regulasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PMK.85/HK.501./MKP/2010.
Proses pendaftaran tersebut melibatkan pengajuan permohonan kepada otoritas setempat, yakni Walikota (atau Gubernur, tergantung pada wilayah geografis), yang kemudian akan melakukan pemeriksaan berkas permohonan. Setelah tahap ini, jika memenuhi persyaratan, akan terbit TDUP, yang merupakan bukti sah bahwa bisnis OTA telah terdaftar secara resmi.
Kewajiban Perpajakan Badan
Dalam konteks kewajiban perpajakan, Badan Usaha Pariwisata harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Badan. NPWP ini digunakan sebagai sarana administrasi perpajakan. Kewajiban perpajakan badan dimulai sejak badan tersebut berdiri, dan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang berlaku adalah sebesar 25%, sesuai dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Baca juga: Cara Lapor SPT Tahunan Badan / Perusahaan Online Sesuai Urutan
PPh Pasal 23 dan Perlakuan Khusus untuk OTA
Dalam menjalankan operasionalnya, OTA seringkali bertindak sebagai perantara dalam pemesanan tiket pesawat, kereta api, akomodasi, dan layanan lainnya yang terkait dengan perjalanan wisata. Namun, yang perlu diperhatikan adalah apakah transaksi ini terutang Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23, yang merupakan pajak atas penghasilan yang diperoleh melalui jasa.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-70/PJ/2007 dan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-09/PJ.032/2008, jasa yang diberikan oleh OTA tidak terkena PPh Pasal 23. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya unsur sewa atau penggunaan harta dalam transaksi jasa online travel agent. Oleh karena itu, OTA tidak terbebani dengan PPh Pasal 23.
Jangan biarkan kompleksitas pajak online travel agent menghambat kesuksesan bisnis Anda. Trust Tax Consultant siap membimbing Anda melalui setiap langkahnya. Kunjungi https://trusttaxconsultant.com/jasa-konsultan-pajak-semarang/ dan temukan solusi terbaik untuk mengelola perpajakan online travel agent dengan dipandu tim konsultan pajak profesional di Semarang. Percayakan aspek perpajakan bisnis online travel agent Anda pada kami.
Pajak Karyawan (PPh 21)
Selain kewajiban perpajakan badan, OTA juga harus mempertimbangkan Pajak Penghasilan (PPh) 21 untuk karyawan yang dipekerjakannya. Terdapat tiga metode dalam menghitung PPh 21, yaitu gross method, nett method, dan gross up.
Metode gross method mengizinkan pekerja membayar pajak atas penghasilannya sendiri, tanpa pemotongan dari perusahaan. Sementara itu, nett method melibatkan pemotongan pajak oleh perusahaan dan pekerja menerima gaji bersih.
Sedangkan metode gross up melibatkan kenaikan tunjangan pajak dengan nilai pajak yang terutang, yang kemudian diikutsertakan dalam pemotongan. Setelah metode ini dipilih, perusahaan harus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh 21 dan membayar pajak terutang. Untuk mempermudah proses ini, dapat digunakan fitur hitung otomatis PPh 21 pada platform perpajakan online.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PKP
Jika OTA memiliki omzet dalam satu tahun buku melebihi Rp 4.800.000.000.000, maka OTA dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam hal ini, OTA harus mengajukan permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar untuk mendapatkan status PKP. Jika tidak diajukan, status PKP dapat dikukuhkan secara jabatan.
Baca juga: Keuntungan Menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Sebagai PKP, OTA memiliki kewajiban menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak. Terutangnya PPN terjadi saat dilakukan penyerahan barang, yang mencakup terbitnya faktur penjualan, ketersediaan barang, pengalihan barang, dan pembayaran barang.
Kesimpulan
Dalam menjalankan bisnisnya, Pajak Biro Pariwisata, atau Online Travel Agent, harus mematuhi sejumlah ketentuan dan dasar hukum perpajakan. Dari pendirian badan hukum, pendaftaran usaha pariwisata, hingga kewajiban perpajakan badan, setiap langkah memiliki peran penting dalam memastikan kepatuhan dan keberlanjutan bisnis.
Penting bagi OTA untuk memahami bahwa meskipun terhindar dari PPh Pasal 23, masih ada kewajiban perpajakan lainnya seperti PPh 21 untuk karyawan dan PPN jika telah mencapai status PKP. Oleh karena itu, implementasi sistem perpajakan yang efisien dan pemahaman mendalam terhadap regulasi perpajakan akan menjadi kunci keberhasilan dan keberlanjutan bisnis di industri pariwisata yang dinamis ini.